Sukses

Saiful Mujani: Yang Puas dengan Jokowi Menolak Penundaan Pilpres 2024

Saiful mengatakan, SMRC memiliki data tren tingkat kepuasan publik pada kinerja Presiden Jokowi sejak 2015. Tingkat kepuasan publik pada kinerja Jokowi cenderung mengalami penguatan.

Liputan6.com, Jakarta Saiful Mujani Research and Consulting menggelar diskusi 'Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ bertajuk 'Kinerja Presiden dan Penundaan Pemilu. Dalam forum itu, Saiful Mujani mengatakan masyarakat yang puas dengan kinerja Jokowi mayoritas menolak penundaan Pemilu 2024.

"Ide perubahan masa jabatan presiden bertentangan dengan aspirasi rakyat Indonesia. Bahkan publik yang puas dengan kinerja Presiden Jokowi juga menolak gagasan tersebut," ujar Saiful dalam keterangannya, Kamis (29/12/2022).

Saiful mengatakan, SMRC memiliki data tren tingkat kepuasan publik pada kinerja Presiden Jokowi sejak 2015. Tingkat kepuasan publik pada kinerja Jokowi cenderung mengalami penguatan.

Pada periode kedua, tingkat kepuasan rata-rata 70 persen. Pada survei terakhir di bulan Desember 2022, tingkat kepuasan publik pada kinerja Presiden Jokowi 74,2 persen.

Saiful melihat tingkat kepuasan publik ini sangat tinggi. Menurutnya, tingkat kepuasan adalah cerminan dari approval atau biasa disebut sebagai approval rating terhadap pemimpin pemerintahan.

"Ini peristiwa yang sangat penting bahwa Presiden Jokowi memiliki approval rating yang sangat tinggi," jelas pendiri SMRC tersebut.

Saiful pun menyoroti Bambang Soesatyo, dan Ketua DPD La Nyalla Mattalitti yang memiliki pandangan sebaiknya Pemilu 2024 ditunda ke 2027 karena kinerja Jokowi baik. Opsi kedua pemilu 2024 tetap dilaksankan, namun Jokowi diberi kesempatan mencalonkan diri sehingga mengubah konstitusi tentang jabatan presiden menjadi tiga periode.

Saiful melihat posisi Bambang Soesatyo sebagai ketua MPR yang memiliki wewenang mengubah Undang-undang Dasar sehingga posisinya sangat penting. Karena itu, menurut Saiful, pandangan Ketua MPR tersebut perlu dibahas.

"Pandangan Bambang dan La Nyalla tersebut, tidak mencerminkan aspirasi publik. Kinerja Jokowi memang bagus, tapi apakah bagusnya kinerja Presiden Jokowi itu membuat publik menginginkan agar dia dikasih wewenang untuk kembali berkuasa dengan mengubah konstitusi atau dikasih tambahan kekuasaan tiga tahun lagi," kata dia.

Dalam konstitusi tertulis bahwa presiden menjabat selama lima tahun. Dan kembali bisa dipilih untuk periode berikutnya hanya satu kali. Karena itu, kata Saiful, jika ingin menambah periode jabatan tiga tahun tanpa dipilih oleh rakyat, itu jelas harus mengubah konstitusi. Saiful bahkan menyebut ide penambahan durasi kekuasaan itu adalah makar.

"Ide ini (penambahan kekuasaan tiga tahun), bagi saya, agak makar karena bertentangan dengan konstitusi yang jelas-jelas membatasi kekuasaan,” kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tersebut.

 

2 dari 3 halaman

Masyarakat Tak Mau Perpanjangan Jabatan Presiden

Saiful menyebut, dalam survei SMRC pada Mei 2021, September 2021, Maret 2022, dan Oktober 2022 menunjukkan mayoritas publik ingin mempertahankan ketentuan masa jabatan presiden hanya dua kali dan masing-masing selama dua tahun. Dalam empat kali survei tersebut, rata-rata 77 persen publik yang ingin ketentuan itu dipertahankan, sementara yang ingin mengubahnya hanya 13 persen.

Dari 13 persen yang menginginkan ketentuan masa jabatan presiden diubah, yang menyatakan diubah menjadi satu kali selama lima tahun rata-rata 43 persen, satu kali selama 8 tahun 7 persen, satu kali selama 10 tahun 4 persen, tiga kali dengan masing-masing lima tahun 27 persen, dan boleh lebih dari tiga kali dengan masing-masing lima tahun 17 persen.

"Ada 2 persen yang tidak jawab," kata dia.

Saiful menjelaskan dari 13 persen yang ingin perubahan, mayoritas mereka menginginkan masa jabatan presiden justru dipersempit, bukan ditambah lebih dari dua kali. Menurut Saiful, data ini menunjukkan fenomena yang menarik.

Di satu sisi, rakyat memuji kinerja Presiden Jokowi. Tapi di sisi yang lain, prosedur pemilu, demokrasi, dan pembatasan kekuasaan juga dipegang oleh masyarakat.

"Kinerja presiden yang dinilai baik bukan berarti bahwa dia harus terus berkuasa. Toleransi terhadap penambahan kekuasaan hanya karena kinerja baik adalah sumber otoritarianisme. Karena jika setelah ditambah masa jabatannya dan ternyata kinerja bagus, maka akan ada peluang untuk tambah masa jabatan lagi," kata dia.

Dia juga menyebut, dalam survei juga menunjukkan mayoritas warga, 59 persen, tidak setuju atau sangat tidak setuju Presiden Jokowi kembali menjadi calon presiden untuk ketiga kalinya di pemilihan 2024 nanti. Yang setuju hanya 36 persen dan yang tidak punya sikap 6 persen.

 

3 dari 3 halaman

Kesadaran Konstitusional di Masyarakat

Dalam tabulasi silang, ditemukan bahwa baik yang puas maupun yang tidak puas pada kinerja presiden, mayoritas menginginkan agar ketentuan masa jabatan presiden dua kali dan masing-masing selama lima tahun dipertahankan.

"Dari 69,6 persen yang mengaku puas dengan kinerja presiden Jokowi (dalam 4 kali survei), 76 persen menginginkan masa jabatan presiden 2 kali masing-masing 5 tahun dipertahankan. Yang menyatakan harus diubah 14 persen, yang tidak jawab 9 persen. Sementara dari 28,3 persen yang tidak atau kurang puas terhadap kinerja presiden, 81 persen menyatakan ketentuan masa jabatan presiden harus dipertahankan, hanya 11 persen yang menyatakan harus diubah, dan ada 8 persen yang tidak menjawab," kata dia.

Menurut Saiful, data ini menunjukkan bahwa tidak ada dasar untuk mengatakan bahwa rakyat menginginkan Jokowi untuk kembali menjadi presiden. Menurut dia, ini mengindikasikan bahwa sudah ada kesadaran konstitusional di tengah masyarakat.

“Bahwa konstitusi menyatakan hanya dua periode, ya itulah yang ditaati oleh masyarakat. Inilah yang disebut sebagai demokrasi konstitusional, bahwa demokrasi kita didasarkan pada konstitusi dan aturan-aturan yang berlaku,” tegasnya.

Saiful mengingatkan bahwa anggota MPR, baik dari DPR maupun DPD, adalah wakil rakyat. Jika langkah-langkah mereka tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh publik, seperti yang tercermin dalam observasi survei, itu berarti mereka tidak bisa mengklaim mewakili publik.